20111118

Addendum 2: Penjelasan Khusus yang Terkait dengan Proses Implementasi KODEKI (Hasil Mukernas Etika Kedokteran III), April 2001. I. PENDAHULUAN

Protesi dokter sejak awalnya merupakan protesi yang luhur dan mulia yang. ditunjukkan oleh adanya 6 sitat dasar yang harus dimiliki oleh setiap dokter yang terdiri dari
  1. Sifat ketuhanan.
  2. Kemurnian niat.
  3. Keluhuran budi
  4. Kerendahan hati.
  5. Kesungguhan kerja
  6. Integritas ilmiah dan sosial.
Kode etik kedokteran disusun agar 6 sifat dasar tersebut dapat dilaksanakan pada pengamalan profesi kedokteran. Kita menyadari, pada saat ini banyak kritik masyarakat terhadap implementasi Etik Kedokteran. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dan 6 sifat dasar yang membuktikan keluhuran dan kemuliaan profesi dokter tersebut diatas. Tiga sitat terakhir yaitu kesungguhan kerja, kerendahan hati, integritas ilmiah dan sosial dapat disaksikan masyarakat secara kasat mata dan obyektif yang bisa disebutkan sebagai dimensi sosial, tetap’ sifat dasar lainnya, seperti kemurnian niat merupakan dimensi transcendenta yang hanya dirasakan oleh yang bersangkutan sehingga bersifat subyektif dan hanya diketahui oleh yang bersangkutan dan Tuhan.


Sejalan hal tersebut diatas, dalam rangka meningkatkan pelaksanaan Kode Etik Kedokteran pada pengamalan profesi kedokteran, dirasa perlu adanya Proses Implementasi Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).|
II. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI KODEKI
Etika tidak bisa dilepaskan dan moral yang berarti sikap, kebiasaan yang terbentuk dan sebuah proses yang lama dalam suatu masyarakat yang bisa mempengaruhi pada implementasi etika, dan hal tersebut tentunya berlaku pula untuk implementasi KODEKI.

Faktor-taktor yang mempengaruhi implementasi KODEKI adalah, sebagai berikut:
  1. PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
    Pada umumnya para dokter mengetahui pertama kali tentang Kode Etik Kedokteran adalah pada waktu kuliah di Fakultas Kedokteran. Oleh karena salah satu mata kuliah di Fakultas Kedokteran adalah Etik Profesi. Namun dengan belum adanya standarisasi penyelenggaraan Fakultas Kedokteran yang berkaitan dengan KODEKI maka pemahaman KODEKI oleh para dokter menjadi tidak sama. Di lain pihak pengenalan dan pemahaman KODEKI perlu dilakukan berkesinambungan, dengan belum terstandarisasinyakunsus etik pnofesi maka bendampak pula terhadap pengenalan dan pemahaman KODEKI tenhadap pana dokten saat mi. Bendasankan hal tersebut, maka pendidikan dan pelatihan benpenganuh tenhadap implementasi KODEKI.
  2. FAKTOR INTRINSIK INDIVIDU
    Di atas telah diuraikan bahwa etika tidak bisa dilepaskan dari moral yang berarti sikap, kebiasaan yang terbentuk dan sebuah proses lama yang bisa menunjukkan sikap yang baik dan sikap yang buruk. Dan kita ketahui sikap dan kebiasaan tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor instrinsik individu.
  3. LINGKUNGAN SOSIAL, EKONOMI, BUDAYA, HUKUM
    Seorang dokter dalam mengimplementasikan KODEKI dapat dipengaruhi oleh lingkungan sosial, ekonomi, budaya dan hukum. Oleh karena perubahan lingkungan sosial, ekonomi, budaya dan hukum akan merubah pula sistem nilai, yang pada akhirnya akan berdampak pula terhadap implementasi KODEKI.
  4. PENGAWASAN
    Belum berfungsinya pengawasan secara optimal, mempengaruhi implementasi KODEKI. Lemahnya pengawasan telah menyebabkan KODEKI tidak dilaksanakan dengan baik dan malahan ada yang melanggarnya. Oleh karena itu, pengawasan memegang peran penting dalam implementasi KODEKI.
  5. PENEGAKAN BAGI PELANGGAR
    Lemahnya pengawasan yang berdampak terhadap pelanggaran KODEKI perlu ditindaklanjuti dengan penegakan bagi pelanggar. Dengan adanya penegakan bagi pelanggar diharapkan implementasi KODEKI dapat berjalan dengan baik.
  6. HUBUNGAN DENGAN PROFESI KESEHATAN DAN INSTANSI TERKAIT
    Para dokter dalam melaksanakan kegiatannya dapat berhubungan dengan profesi kesehatan lainnya dan dapat pula berhubungan dengan instansi terkait. Hubungan tersebut tentunya akan mempengaruhi para dokter dalam mengeimplementasikan KODEKI.
III. PROGRAM IMPLEMENTASI KODEKI
Perubahan sosio-ekonomi masyarakat yang diikuti dengan meningkatnya pendidikan masyarakat telah merubah sistem nilai dan perilaku di masyarakat. Perubahan sistem nilai dan perilaku para dokter yang pada gilirannya telah mengurangi pengamalan profesi kedokteran. Hal tersebut terlihat bahwa pada saat ini banyak kritik masyarakat terhadap implementasi KODEKI. Kritik masyarakat terhadap implementasi KODEKI tersebut tentunya tidak terlepas dari adanya enam sifat dasar yang harus membuktikan keluhunan dan kemurnian profesi dokter yaitu ketuhanan, keluhuran budi, kemurnian niat, kesungguhan kerja, kerendahan hati dan integritas ilmiah dan sosial. Oleh karena itu program implementasi KODEKI sangatlah penting. Dengan adanya program implementasi diharapkan adanya kejelasan arah dan tujuan implementasi KODEKI yang pada akhirnya diharapkan meningkatkan citra dokter Indonesia yang pada saat ni sedang menurun.\

Proses implementasi KODEKI terdiri dari :
  1. FASE PERSIAPAN
    Pada fase persiapan ini yang diperlukan adalah standarisasi dan pedoman. Fase persiapan mi diharapkan dilaksanakan di Pengurus Besar IDI (IDI Pusat) dan IDI Wilayah. Langkah-langkah yang dilakukan pada fase persiapan sebagai berikut :
    1. Pengurus Besar IDI melalui MKEK Pusat diharapkan dapat menyusun standarisasi pendidikan Fakultas Kedokteran yang berkaitan dengan KODEKI. Dengan adanya standarisasi diharapkan semua mahasiswa Kedokteran di Indonesia mendapat bekal KODEKI yang sama sehingga dalam melakukan implementasi juga sama. Standarisasi pendidikan tersebut meliputi:
      • Sillabi etik profesi
      • Buku ajar KODEKI dan Keprofesian
      • Sillabi kursus
      • Buku pedoman untuk kursus
      • Kualifikasi tenaga pengajar
      • Modul etik
  2. mengingat budaya masing-masing wilayah tidak sama maka standarisasi pendidikan Fakultas Kedokteran yang berkaitan dengan KODEKI perlu ditindakianjuti oleh IDI Wilayah untuk membuat pedoman-pedoman yang disusun oleh IDI Wilayah diharapkan dapat membantu dan memperjelas implementasi KODEKI di wilayah.

  • FASE PELAKSANAAN
    Agar dapat melaksanakan implementasi KODEKI dengan baik maka harus dimulai sejak menjadi mahasiswa kedokteran sampai menjadi dokter dan melaksanakan kegiatan sebagai profesi dokter. Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan implementasi KODEKI sebagai berikut :
    1. Pendidikan undergraduate di Fakultas Kedokteran (S1)
      Pengenalan, penghayatan dan pemahaman KODEKI perlu dilakukan sediri mungkin, yaitu melalui pendidikan under graduate di Fakultas Kedokteran. Dengan dimulainya pengenalan diri diharapkan para dokter dapat mengetahui, memahami, menghayati dan mengamalkan 6 sifat dasar yang membuktikan keluruhan dan kemuliaan profesi dokter.
    2. Kursus terstruktur, tatap muka dan jarak jauh oleh Lembaga Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) IDI. Agar KODEKI dapat terus diingat oleh para dokter maka perlu ada pelatihan/kursus yang terstruktur mengenai KODEKI. Kursus dapat menggunakan sistem tatap muka tetapi juga dapat dengan sistem jarak jauh. Dengan sistem jarak jauh diharapkan cakupan pesertanya dapat lebih banyak dan dengan hasil yang tidak berbeda dengan sistem tatap muka. Misalnya melalui Tele Conference, Tele Seminar.
    3. Kuliah etik pada tiap PKB/Pertemuan ilmiah tak dipungkiri PB IDI maupun IDI Wilayah sering mengadakan pertemuan ilmiah atau menyelenggarakan PKB. Pertemuan ilmiah dan PKB tersebut dapat merupakan wahana yang baik untuk melakukan sosialisasi KODEKI secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Disarankan atau agar dibuat kebijakan oleh PB IDI bahwa sebelum PKB/pertemuan llmiah dilaksanakan perlu diawali dengan Kultum (Kuliah Tujuh Menit) mengenai KODEKI.
    4. Kursus Etik bagi anggota MKEK di dalam struktur organisasi IDI, MKEK mempunyai pengenalan, penghayatan dan pemahaman yang sama mengenai KODEKI maka anggota MKEK wajib mengikuti Kursus Etik. Disarankan MKEK Pusat membuat Kursus Etik bagi MKEK Wilayah, sedangkan MKEK Wilayah membuat Kursus Etik bagi MKEK Cabang.
    5. Melaksanakan dan mengembangkan fungsi-fungsi dalam struktur organisasi MKEK.
    6. Pemberdayaan panitia etik/Komite Etik di rumah sakit dalam membuat kebijakan. Untuk menangani masalah etik di rumah sakit, maka setiap rumah sakit wajib mempunyai panitia etik/komite etik. Kewajiban ini telah tertuang dalam standar akreditasi rumah sakit. Harus diakui panitia etik/komite etik di Rumah Sakit (RS) pada saat ini belum berfungsi optimal dan kurang diberdayakan. Agar implementasi KODEKI di RS dapat berjalan dengan baik maka pengawasan secara berkesinambungan perlu dilakukan. Panitia etik/komite di RS diharapkan dapat melaksanakan kegiatan tersebut.
    7. Koordinasi dengan profesi kesehatan lain dan institusi lain terkait.
      Implementasi KODEKI sangatlah dipengaruhi oleh profesi kesehatan lain dan institusi lain terkait oleh karena itu dalam melaksanakan implementasi KODEKI perlu melakukan koordinasi dengan profesi kesehatan lain dan institusi lain terkait. Sebagai contoh kerja sama dokter dengan penusahaan farmasi dapat diantisipasi dengan melakukan koordinasi dengan profesi farmasi, dengan dilaksanakan kode etik kedokteran dan kode etik farmasi diharapkan dapat meminimalkan pelanggaran etik profesi tersebut. Di lain pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menganggap kerja sama dokter dan perusahaan farmasi bukanlah merupakan pelanggaran etika tetapi merupakan pelanggaran hukum, 101 dan SF1 harus melakukan koordinasi dengan institusi terkait untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

  • PENGAWASAN/EVALUASI
    Sudah menjadi sifat manusia, apabila tidak diawasi maka berani melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, implementasi KODEKI perlu diikuti dengan sistem pengawasan/evaluasi yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Hal-hal yang perlu dilakukan pada pengawasan/evaluasi adalah sebagai benikut:
    1. MKEK melaksanakan pengawasan secara aktit dan pasif
      Agar ada kejelasan siapa, kapan dan bagaimana melakukan pengawasan/ evaluasi maka PB IDI melalui MKEK Pusat diharapkan dapat membuat pedoman pengawasan/evaluasi yang merupakan acuan umum, sedangkan 101 Wilayah melalui MKEK Wilayah membuat petunjuk teknis pengawasan/evaluasi yang merupakan penjabaran pedoman yang disusun PB 101 melalui MKEK Pusat sesuai dengan budaya, situasi dan kondisi wilayah.
    2. Panitia Etik AS sebagai pemantau di RS
      Seperti disebutkan diatas bahwa AS wajib mempunyai panitia etik maka panitia etik di RS ini diharapkan dapat secara optimal melakukan pengawasan secara aktif maupun pasif implementasi KODEKI. Oleh karena itu panitia etik AS diharapkan mempunyai prosedur tetap pengawasan/evaluasi KODEKI serta pencatatan dan pelaporan masalah etik.
    3. Perlu adanya pelaporan kasus etik secara berkala dan berjenjang.
      Perlu dikembangkan format laporan kasus etik dan tata cara pelaporan secara berkala dan berjenjang.

  • PENEGAKAN IMPLEMENTASI ETIK
    Penegakan implementasi etik dilakukan secara berjenjang sebagai berikut:
    1. Panitia etik AS memecahkan masalah etik di rumah sakit
    2. Panitia etik AS merujuk pelanggaran etik yang tidak bisa diselesaikan di AS ke MKEK/MAKERSI (Majelis Kehormatan Etika Rumah Sakit).
    3. MKEK menangani kasus etik pengaduan dan masyarakat.
    4. Dalam penanganan masalah etik harus memperhatikan ketentuan hukum dan etika lain yang berlaku.

  • ORGANISASI MKEK
    Yang paling penting dalam organisasi MKEK adalah kedudukan MKEK dengan IDI. Mengacu kedudukari MKEK Pusat, maka MKEK Wilayah diharapkan berkedudukan sejajar dengan IDI Wilayah dan dapat bekerja secara otonom.

  • IV. LAIN-LAIN
    1. Pengurus Besar IDI melalui MKEK Pusat agar membuat fatwa mengenai kasus terminal State
    2. IDI, PERSI, GP Farmasi dan ISFI agar membuat "guidelines" yang jelas tentang ketentuan promosi obat, alat kesehatan dan kosmetik dan sekaligus membuat badan penyelesaiannya.
    3. Pelanggaran ketentuan promosi agar tidak dijadikan sebagai produk hukum tetapi sebagai masalah etika.
    4. IDI/MKEK dan PERSI/MAKERSI agar bersama-sama membuat model untuk terciptanya Hospital By Laws.
    5. IDI dan ISFI agar terlibat langsung dalam audit dan sertifikasi obat tradisional.
    6. Agar IDI membuat tim tetap penguji kesehatan pejabat tinggi negara sambil menunggu dikeluarkan ketentuan perundangan.
    7. IDI dan pejabat kesehatan setempat melakukan pengawasan terhadap penggunaan tenaga dokter asing di wilayah masing-masing.
    V. PENUTUP
    Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu : kewajiban dokter, yaitu kewajiban umum, kewajiban kepada pasien, kewajiban kepada diri sendiri dan teman sejawatnya. Keharusan mengamalkan kode etik disebutkan dalam lafal sumpah dokter yang didasarkan pada PP No. 26 tahun 1960. Ini berarti terbuka kemungkinan memberikan sanksi kepada mereka yang melanggan kode etik.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar