a. Sejarah Etika Kedokieran (Oleh: Prof. Dr. R.S. Samil, SpOG) |
Profesi kedokteran mempunyai sejarah mengenai Kode Etik yang bermula sedikitnya kira-kira 2000 SM. Dalam Kode Etik oleh Hammurabi, telah disusun bermacam-macam sistem/peraturan mengenai para dokter. Terdapat pula beberapa bagian mengenai norma-norma tinggi moral/akhlak dan tanggung jawab yang diharapkan harus dimliki oleh para dokter serta petunjuk-petunjuk mengenai hubungan antar dokter dengan pasien; dan beberapa masalah lain. |
Etika Kedokteran mempunyai 3 (tiga) azas pokok, yaitu : |
|
Dewasa ini para dokter mungkin terlibat dalam praktek-praktek yang sungguh membahayakan terhadap umat manusia. Sejarah yang menyedihkan ini telah menciptakan pedoman-pedoman yang terdapat dalam Nuremberg Code, yang merumuskan kembali etika kedokteran dan kode-kode internasional lainnya seperti Deklarasi Helsinki mengenai penelitian terhadap manusia yang merupakan dasar bioetika. Etika adalah usaha mengadakan refleksi yang tertib mengenai gerakan atau instuisi moral dan pilihan moral yang seseorang putuskan. Etika kedokteran dapat diartikan sebagai kewajiban berdasarkan akhlak/moral yang menentukan praktek kedokteran. Selama beberapa dasawarsa terakhir ini masalah-masalah etik kedokteran merupakan masalah yang paling penting daripada kesadaran masyarakat, dengan keprihatinan yang terfokus pada beberapa masalah utama. Masyarakat saat ini telah mempermasalahkan secara agresif mengenai bagaimana dan kepada siapa pelayanan kesehatan diberikan. Perhatian masyarakat mengenai masalah etik kedokteran telah membawa profesi kedokteran kepada kebutuhan yang meningkat mengenai pandangan-pandangan masyarakat ini, tidak hanya yang berkenaan dengan hubungan antara dokter dengan pasien, tetapi Juga mengenai bagaimana kemaJuan dalam ilmu dan teknologi kedokteran mempengaruhi masalah hak-hak asasi manusia, susunan masyarakat dan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal pelayanan kesehatan. Tidak jarang diharapkan bahwa pakar etika mampu memecahkan begitu saja masalah moral yang dihadapi. Harapan itu diperkuat lagi oleh kecenderungan untuk meminta jasa ahli etika sebagai konsultan. Bantuan konsultasi di bidang teknik atau finansial, umpamanya. Ahli-ahli terakhir ini menunjukkan Jalan ke luar konkret bagi masalah yang dihadapi. Di bidang moral, keputusan etis harus diambil oleh pelaku moral sendiri. Hal itu tidak bisa diserahkan kepada orang lain. Ahli filsafat inggris C.B. Broad sudah menegaskan It’s no part of the professional business of moral philosophers to tell people what they ought or ought not to do ... Moral philosophers as such, have no special information to the general public about what is right and what is wrong. Keputusan tentang perbuatan dan tentang kualitas moral perbuatan terletak dalam tangan si pelaku moral sendiri. Dalam konteks profesi hal itu lebih mendesak lagi, karena si pro fesional mengerti lebih baik implikasi etis masalahnya dan cara efisien untuk mengatasinya. Ahli etika hanya bisa membantu dalam mempersiapkan keputusan itu atau dalam men gevaluasi keputusan yang sudah diambil. Secara konkret bantuan yang bisa diberikan ahli etika barangkali dapat disingkatkan sebagai berikut: Menganalisis suatu masalah moral dengan memperlihatkan semua implikasinya dan menjelaskan konsep-konsep yang berperan di dalamnya. Masalah itu sendiri dan konsep-konsep yang dipakai harus Jelas dulu sebelum kita dapat memikirkan suatu pemecahan yang beralasan. Diskusi tentang euthanasia, umpamanya, sering menjadi kacau karena kurang jelas apa yang diartikan dengan istilah itu. Hal yang sama dapat dikatakan tentang hak milik intelektual, hak asasi manusia, keadilan sosial dan banyak diskusi aktual lainnya. Analisis konseptual masalahnya dapat memperlihatkan kompleksitasnya dan menghindari terJadinya pemecahan yang terlalu cepat dan berat sebelah. Keadaan dunia kita sekarang membutuhkan refleksi etis. Perkembangan ilmu dan teknologi, globalisasi ekonomi perubahan radikal dalam masyarakat; semua faktor ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan moral yang tidak dapat dihindarkan. Dalam Garis Besar Haluan Negara sudah lama ditekankan bahwa pembangunan tidak merupakan suatu soal material saja, tetapi bahwa segi spiritual harus diikutsertakan pula. Etika justru termasuk segi non-material itu. Waktu dan tenaga yang kita keluarkan untuk etika tidak dipakai dengan sia-sia, tetapi justru akan meningkatkan kualitas pembangunan kita. Good business, tidak boleh dimengerti semata-mata sebagai bisnis yang membawa untung banyak. Pelayanan kesehatan yang balk tidak saja berarti pelayanan medis yang lulus dalam cost-benefit analysis. Yang baik itu mempunyai arti lebih mendalam lagi, arti moral. Yang baik dalam arti itulah merupakan dimensi paling fundamental dalam kehidupan manusia. Yang baik dalam arti moral memberi nilai terdalam kepada semua kegiatan dan usaha kita. Dalam etika kita memfokuskan dimensi fundamental itu. Memang benar, kita tidak mempunyal kepastian akan memperoleh hasil yang nyata, namun kita yakin Juga mencari sesuatu yang berarti dan bertanggung jawab. Di negara-negara industri pun dana untuk sistem pelayanan seperti yang sekarang diterapkan secara tepat tidak seimbang dengan sumber-sumber yang ada dan dengan demikian juga tidak dimungkinkan setiap warga negara memperoleh pelayanan kesehatan yang diharapkan. Sudah jelas, bahwa kita harus meralat ketidak seimbangan antara pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan sosial, dan bahwa kita harus mengadakan penilalan untung ruginya. Masalah yang menonjol dalam dunia kedokteran dalam dasawarsa akhi-rakhir ini adalah akibat tekanan dan spesialisasi dalam bidang kedokteran yang terus meningkat, dan membawa kita memberi prioritas kepada sarana-sarana pelayanan kesehatan yang sangat canggih dan berlokasi sentral, yang sering tidak ada hubungannya dengan kebutuhan masyarakat. Kita mengerti, bahwa keadaan yang kompleks dan ilmu dan teknologi telah membawa kita ke spesialisasi yang meningkat dan konsentrasi pada era yang semakin sempit. Akibat yang positif dan hal di atas adalah terlihat dan berkembangnya dengan pesat ilmu pengetahuan dan bagaimana para peneliti memperdalam semuannya lebih dalam lagi. Kerugiannya ialah, bahwa secara kiasan, Jika kita gali makln dalam, makin sukar kita dapat melihat lingkungan kita. Sebagal akibat, terjadllah kurangnya kontak antara spesialis-spesialis kedokteran dan ketidak mampuan dalam profesi medis umumnya untuk dapat melihat bahwa dampak terhadap kesehatan masyarakat dari praktek kedokteran kuratif adalah hanya satu faktor dari sekian banyak faktor sosio-ekonomi, politik dan kultural yang menetapkan derajat kesehatan dalam suatu masyarakat. Dalam mengamalkan profesinya, setiap dokter akan berhubungan dengan manusia yang sedang mengharapkan pertolongan dalam suatu hubungan kesepakatan terapeutik. Agar dalam hubungan ini dapat dijaga keenam sifat dasar dl bawah ini, maka disusun Kode Etik Kedokteran Indonesia yang merupakan kesepakatan dokter Indonesia bagi pedoman pelaksanaan profesi. Kode Etik Kedokteran Indonesia didasarkan pada asas-asas hidup bermasyarakat yaitu Pancasila yang telah sama-sama diakui oleh bangsa Indonesia sebagai falsafah hidup bangsa Keluhuran dan kemuliaan ini ditunjukkan oleh 6 (enam) sifat dasar yang harus ditunjukkan oleh setiap dokter yaitu:. |
|
Dokter mempunyai tanggung jawab yang besar, bukan saja terhadap manusia lain dan hukum, tetapi terpenting adalah terhadap keinsyafan hatinya sendirian akirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pasien dan keluarganya akan menerima hasil usaha dan seorang dokter, kalau ia percaya akan k’eahlian dokter itu dan kesungguhannya, sehingga mereka tidak menganggap menjadi masalah bila usaha penyembuhan yang dilakukan gagal. Perlu diperhatikan bahwa perbuatan setiap dokter, mempengaruhi pendapat orang banyak terhadap seluruh "corps" dokter. Pelayanan yang diberikan kepada pasien yang dirawat hendaknya adalah seluruh kemampuan sang dokter dalam bidang ilmu pengetahuan dan perikemanusiaan. Masa kini adalah masa pembangunan dimana pertumbuhan ekonomi sedang diusahakan. Kehidupan agraris mulal berubah ke arah industrialisasi dimana efisiensi dan upaya mencapai peningkatan perekonomian pribadi sangat menonjol. Masyarakat mulai merasa bahwa dengan uang, segala yang dikehendaki dapat diraih. Masyarakat menjadi kritis, jeli dan makin pandai. Termasuk di dalam kekecewaan atas pelayanan profesi kedokteran yang mudah terjadi. Sedikit saja kelemahan dokter, akan dipakai untuk mengadu kepengadilan. Masyanakat semakin sadar akan haknya untuk memperoleh pelayanan yang baik dan bermutu. Masyarakat dokterpun tidak luput dan perubahan tersebut, sehingga kemungkinan pelangganan Kode Etik ini sangat besar. Profesi kedokteran menuntut budi pekerti yang luhur. Tuhan Yang Maha Esa telah membuka, kesempatan bagi umatnya khususnya dokter untuk secara nyata menolong meringankan penderitaan sesamanya. Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Negara Bangsa dan kemanusiaan kita mempertanggung jawabkan pelaksanaan pengamalan profesi dokter. |
b. Pasal 3 Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. |
Penjelasan khusus yang terkait dengan promosi terhadap komoditas yang berhubungan dengan praktik dokter (diadopsi dan hasil Keputusan Muktamar XXIII IDI tahun 1997, tentang promosi obat, kosmetika, alat dan sarana kesehatan, makanan dan minuman serta perbekalan kesehatan rumah tangga). |
Pendahuluan |
Kehidupan di era global merupakan kehidupan yang amat dinamik. Keperluan terhadap barang, jasa dan informasi dirasakan amat mendesak. Demikian pula dinamika arus obat, kosmetika, alat dan sarana kesehatan, makanan minuman dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Salah satu pola dinamika terhadap berbagai komoditi tersebut adalah melalui sarana komunikasi yang untuk efektif dan efisiennya memerlukan upaya-upaya promosi, baik langsung maupun tidak langsung yang tertuju ke masyarakat luas. Aktivitas tersebut antara lain berbentuk iklan di berbagai media massa dan elektronik, baik iklan biasa Iayanan masyarakat, berbagai tampilan lainnya dalam arti luas yang bersifat promosi suatu kepentingan, penyuluhan maupun sekedar hiburan. Pribadi dokter merupakan salah satu daya tarik tersendiri terhadap aktivitas promosi berbagai hal di atas sehingga telah banyak upaya-upaya untuk melibatkan dokter sebagai pemerannya, baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini mungkin terjadi mengingat bahwa dalam hubungan dokter - pasien, kedudukan dokter yang rela tif lebih stabil dan menguntungkan dibandingkan dengan kondisi (masyarakat) pasien yang relatif sedang menderita sehingga kurang memiliki alternatif logis dalam menentukan pilihan yang rasional. Seorang dokter dalam kegiatan tersebut jelas akan meningkatkan daya saing dan sekaligus daya jual berbagai komoditi tersebut. Sedangkan pada sisi lainnya, profesi kedokteran tetap merupakan profesi pengabdian kepada sesama dengan penuh kasih sayang untuk kepentingan kemanusiaan yang keberadaannya dibatasi oleh rambu-rambu etika kedokteran yang universal. Bahwa industri kesehatan makin berkembang dan adanya persaingan yang ketat, apalagi kalau sudah masuk pada masa pasar terbuka. Bahwa ketatnya persaingan telah menyeret beberapa dokter sebagai bagian dan upaya-upaya memenangkan persaingan. Bentuk-bentuk upaya yang melibatkan dokter telah muncul dalam berbagai pemberitaan media massa yang telah meresahkan masyarakat maupun kalangan dokter. Karena itu pula dibuat panduan atau standar yang lebih tegas yang dapat dijadikan pedoman bagi para anggota IDI dalam bersikap dan bertindak atau bekerja sama dengan pihak-pihak lain. Bahwa terdapat keluhan masyarakat umum maupun kedokteran terhadap hal-hal yang dapat menurunkan citra dan martabat profesi kedokteran seperti; dugaan kolusi oknum dokter dengan industri farmasi, iklan promosi di media elektronik yang melibatkan sosok dokter, informasi tentang pengobatan baru atau alternatif yang belurn teruji, dan terkesan rnempromosikan diri sehingga dapat menyesatkan masyarakat Berdasarkan sumpah dokter, KODEKI dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat maka berkaitan dengan promosi obat, kosmetika, alat dan sarana kesehatan, rnakanan minuman dan perbekalan kesehatan rumah tangga, Muktarnar IDI menyatakan hal-hal sebagai berikut; |
|
Pasal 7 Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya. Penjelasan khusus yang terkait dengan "Surat Keterangan Medis". (Oleh: Dr. Budi Sampurno, Sp.F, SH) |
Surat keterangan medis adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter untuk tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit pasien atas permintaan pasien atau atas permintaan pihak ketiga dengan persetufuan pasien. Surat keterangan medis harus dibuat berdasarkan hasiI pemriksaan medis yang secara teknis medis relevan, memadai dan benar serta diinterpretasikan dengan menggunakan ilmu pengetahuan kedokteran yang telah diterima pada saat itu (state-of-the-ant). Dokter pembuat surat keterangan medis tersebut harus dapat membuktikan kebenaran keterangannya apabila diminta. Dengan kalimat "memeriksa sendiri kebenarannya" sebagaimana tercantum dalam pasal ini berarti bahwa dokter tersebut menginterpretasikan hasil-hasil pemeriksaan medis yang telah diyakini kebenarannya, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang dilakukan oleh sejawatnya atau hasil konsultasinya. Surat keterangan sehat diberikan untuk memenuhi keperluan tertentu. Perlu diingat bahwa, sehat untuk suatu keperluan tertentu membutuhkan tingkat kesehatan yang tertentu pula. Tingkat kesehatan untuk membuat surat izi mengemudi (SIM) berbeda dengan tingkat kesehatan untuk masuk sekolah atau perguruan tinggi, menjadi tentara, menjadi pilot dll. Oleh karena itu surat keterangan sehat harus menyebutkan tujuannya, apakah untuk membuat SIA mendaftar sekolah atau perguruan tinggi dan sebagainya. Surat keterangan sakit atau istirahat sakit harus dibuat berkaitan dengan suatu keadaan sakit tertentu (pathology, impairment, disability dan handical dan ditujukan sebagai salah satu upaya penyembuhan penyakit tersebut. Keterangan ini tidak menyebutkan diagnosis penyakitnya, melainkan hanya menyebutkan bahwa pasien sedang sakit dan membutuhkan istirahat selama jumlah hari tertentu. Namun, pada umumnya pemberian istirahat sakit lebih dari 14 (empat belas) hari mengharuskan disebutnya diagnosis penyakit pasien tersebut. Surat keterangan medis yang dibuat atas permintaan resmi penyidik yang berwenang tentang hasil pemeriksaan medis atas seseorang manusia, baik sewaktu hidup ataupun setelah meninggal, yang dibuat berdasarkan sumpah dan menggunakan ilmu pengetahuan kedokterannya serta ditujukan untuk kepentingan peradilan pada umumnya, disebut sebagai visum et repertum. Namun demikian terdapat pula keterangan yang tidak disebut sebagai visum et repentum meskipun ditujukan untuk kepentingan peradilan, seperti surat keterangan sakit untuk tidak dapat menghadiri persidangan, keterangan sakit untuk tidak diperiksa/diinterogasi keterangan sakit bagi tahanan dan terpidana, dan keterangan tentang kelayakan untuk disidangkan (fitness to stand trial). Keterangan-keterangan seperti ini sebaiknya dibuat oleh dokter yang bukan sebagai dokter pengobat orang tersebut. Pada hakekatnya seseorang yang membutuhkan perawatan inap di rumah sakit dapat dinyatakan sebagai sakit dan tidak dapat dimasukkan ke dalam tahanan (kecuali dalam rumah sakit tahanan) ataupun diajukan ke sidang pengadilan. Selain itu, seseorang yang memiliki gangguan mental tertentu dapat dinyatakan sebagai "tidak layak diajukan ke pengadilan. Kelayakan seseorang diajukan ke pengadilan itu harus diputuskan oleh psikiater dan diperoleh dari suatu pemeriksaan psikiatris yang adekuat, serta melalui prosedur hukum yang berlaku. Seorang tahanan ataupun terpidana bukanlah orang yang memiliki hak sipil yang penuh, sehingga ia tidak memiliki kebebasan penuh dalam memilih dokter atau rumah sakit tempat Ia akan dirawat. Dengan pertimbangan keamanan, penyidik atau jaksa penuntut umum berwenang menentukan tempat perawatan tahanan setelah berkonsultasi dengan dokter. Dokter diharapkan untuk tidak dengan mudah merujuk pasiennya yang berstatus tahanan atau terpidana ke sarana kesehatan di luar negeri tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak yang berwenang. Keterangan dokter dapat juga diberikan tidak dalam bentuk tertulis, misalnya penjelasan kepada pasien dalam rangka pemenuhan hak pasien atas informasi medisnya atau dalam rangka memperoleh informed consent. Dalam hal ini dokter diharapkan memberikan informasi yang benar, jujur, lengkap, dan sejelasjelasnya sehingga pasien dapat memahami dan membuat keputusan dengan bebas. |
Pasal 7c Seorang dokterharus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan tenaga kesehatan Iainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien Penjelasan khusus yang terkait dengan "Uraian Hak-hak Pasien dan Hak-hak Dokter". (OIeh: Dr. Budi Sampurno, Sp.F, SH) |
Hak-hak pasien telah diatun dalam beberapa ketentuan, yaitu di dalam : |
|
Dalam Deklarasi Lisabon (1991) hak-hak pasien tersebut adalah : |
|
Sedangkan dalam UU Keseha tan disebutkan antana lain: |
|
Selanjutnya hak-hak pasien secara rinci juga diuraikan dalam SE Ditjen Yanmed Depkes RI No YM.02.04.3.5.2504 dan dalam Deklarasi Muktamar IDI2000 tentang Hak dan kewajiban pasien dan dokter. Lebih jauh tentang hak-hak pasien dapat dilihat di buku "The Rights of Patients in Europe" (Leenen dkk, 1993) dan "Etika Kedokteran Indonesia" (Samil 2001). Dokter harus menghormati hak sejawatnya, yang pada prinsipnya terdiri dari hak profesi dan hak perdata. Sejawat berhak memperoleh kesempatan untuk mempraktekkan profesinya dengan bebas, etis dan bermartabat, serta berhak mengembangkan sikap profesionalismenya. Demikian pula tenaga kesehatan lainnya juga memiliki hak-hak profesi serupa yang harus dihormati oleh dokter. Selain hak profesi di atas, dokter juga harus menghormati hak-hak sipil/perdata yang dimiliki oleh setiap orang dalam diri para sejawatnya dan tenaga kesehatan lainnya. Menjaga kepercayaan pasien dilakukan dengan cara melakukan segala sesuatu dengan ramah, sopan, penuh empati dan belas kasihan. Tentu saja tanpa melupakan sikap etis, bertindak sesual standar profesi dan tidak melakukan tindakan yang tercela atau melanggar hukum. |
Pasal 7d Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani |
a. Penjelasan khusus yang terkait dengan "Keikutsertaan Dokter dalam Eksekusi Pidana Mati, termasuk Penyiksaan" (Oleh: Dr. Budi Sampurna, Sp.F, SH). Profesi kedokteran adalah satu-satunya atau setidaknya profesi yang pertama kali menyatakan dalam sumpah profesinya untuk bekerja membela peri-kemanusiaan, tidak akan melakukan perbutan yang bertentangan dengan peri-kemanusiaan, dan melindungi kehidupan manusia. Pernyataan ini pula yang merupakan salah satu alasan yang menjadikan profesi kedokteran menjadi pro fesi yang luhur dan bermartabat. |
Kata-kata "sejak saat pembuahan" yang ada dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia sebelumnya telah dihilangkan dengan pertimbangan sebagal benikut: |
|
Konsekuensi dan sikap menghormati kehidupan makhluk insani ini adalah bahwa setiap tindakan dokter yang melemahkan atau menghentikan atau tidak berupaya mempertahankan suatu kehidupan manusia tanpa alasan yang dapat dibenarkan, dianggap sebagai tindakan yang tidak etis. Deklarasi Tokyo adalah pernyataan dan World Medical Association pada tahun 1975 dalam persidangannya ke 29 di Tokyo. Dalam preambul deklarasi ini dinyatakan bahwa dokter wajib tetap menghormati kehidupan insani meskipun, dalam keadaan diancam serta tidak menggunakan Ilmu kedokteran untuk tujuan yang bertentangan dengan kemanusiaan. Deklarasi Tokyo melarang dokter turut serta atau berpantisipasi dalam tindakan penyiksaan atau tindakan lain yang brutal, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Dokter dilarang menyediakan cara, alat, bahan atau pengetahuannya guna memudahkan terjadinya penyiksaan, termasuk mengevaluasi kesehatan seseorang sebelum, selama dan sesudah penyiksaan guna kepentingan berjalannya penyiksaan itu; bahkan hadir di tempat terjadinya penyiksaan pun dilarang. Dalam hal in penyiksaan diartikan sebagai setiap tindakan kesengajaan yang sistematik atau ketidak hati-hatian, yang merusak fisik atau mengakibatkan penderitaan mental seseorang, yang dilakukan oleh satu orang atau lebih yang bertindak sendiri atau atas perintah pihak yang berwenang, untuk memaksa seseorang guna memperoleh informasl, pengakuan atau untuk tujuan lain. WMA juga meresolusikan suatu sikap bahwa adalah tidak etis bagi dokter yang turut serta atau berpartisipasi dalam suatu eksekusi hukuman mati, dengan cara apapun, dan dalam tahap apapun dalam proses eksekusi tersebut (Resolusi WMA tahun 1981 dan 2000). |
b. Penjelasan khusus yang terkait dengan "Letting Die Naturally Dan Minimal Treatment Versus Euthanasia". (OIeh: Dr. man Human, Sp.Rad, MPH) Pasal 7d yang mengharuskan dokter untuk "senantiasa melindungi hidup makhluk insani", bersumber dari "Sumpah Dokter" (yang berlaku sampai saat ini, yaltu hasil penyempurnaan Rakennas MKEK-MP2A tahun 1993, khususnya lafal sumpah yang ke-6, 7 dan 8, ialah: |
|
Dalam mengamalkan kewajiban "melindungi hidup makhluk insani" ini seorang dokter harus senantiasa mengingat hal-hal sebagai berikut: |
|
Maka dalam menghadapi semua kenyataan ini pertama-pertarna seorang dokter sejak awal harus menjalin hubungan yang baik dengan pihak keluarga pasien. Setiap pengambilan keputusan baik untuk tujuan diagnostik, terapi maupun berbagil tindakan lainnya, harus selalu dengan persetujuan pasien dan atau keluarganya. Dalam mengamalkan pasal 7d KODEKI, yang berbunyi "Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani", maka yang jelas dilarang baik oleh Kode Etik Kedokteran, juga dilarang oleh Agama maupun Undang-Undang Negara adalah perbuatan-perbuatan: |
|
Tindakan aborsi yang dibenarkan oleh undang-undang sampai saat ini, y.i. sebagaimana termuat dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 15, hanya dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil. Dan inipun hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk ini, serta berdasarkan pertimbangan tim ahli, dan harus ada persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya, dan harus dilakukan di sarana kesehatan tertentu (rumah sakit). (Dan inipun PP-nya masih belum keluar). Tindakan aborsi atas indikasi-indikasi lain seperti sosial, humaniten dan eugenetik, seperti di negara-negara lain, yang bukan hanya untuk menolong si ibu, melainkan juga dengan pertimbangan demi keselamatan si anak, baik jasmaniah maupun rohaniyahnya, sampai saat ini di Indonesia belurn ada undang-undangnya. Mernang dengan alasan kemajuan dalam bidang diagnostik prenatal, dengan dapat ditemukannya berbagai penyakit bawaan yang berat dan penyakit genetik yang tidak memungkinkan bayinya dapat hidup normal, sudah banyak tuntutan untuk dibuat undang-undang yang memperbolehkan dilakukannya tindakan aborsi dengan indikasi yang lebih luas. Dengan kemajuan iptek di bidang kesehatan reproduksi dan fertilitas, juga banyak permasalahan yang tidak lagi bisa terjangkau oleh Kode Etik Kedokteran; demikian pula yang ada dalam UU No. 23 tahun 1992, tentang Kesehatan, masih terbatas pada "kehamilan di luar cara alami" ("bayi tabung"), yaitu sebagaimana diuraikan dalam pasal 16 yang terdiri dari tiga ayat. Dalam pasal 16 ini hanya menyebutkan bahwa upaya kehamilan di luar cara alami hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang syah, dan hasil pembuahan sperma dan ovum dan suami istri tersebut ditanamkan dalam rahim istri dan mana pembuahan sperma dan ovum berasal, dan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk serta dilakukan di sarana kesehatan tententu (rumah sakit). Dalarn pasal 16 dari UU No. 23 tahun 1992 ini, jelas bahwa "sewa rahim" (surrogate motherho tidak diperbolehkan di Indonesia. sementara mengenai perlakuan terhadap sisa kelebihan embryo, penyimpanan embryo dan lain-lainnya yang berkaitan dengan ini masih belum diatur. Kemungkinan akan dijabarkan pengaturannya dalam PP yang masih belurn dibuat. Mengenai "euthanasia" akhir-akhin ini banyak menarik perhatian, khususnnya sehubungan dengan dampak dan perkembangan dan kernajuan IP11 Kedokteran. Di satu sisi ini mempunyai nilai negatif karena istilah ini mempunnyai arti sebagai "pembunuhan tanpa penderitaan" (mercy killing) terhadap pasien yang tidak dapat diharapkan lagi untuk disembuhkan, narnun di pihak lain dapat dianggap sebagai bagian dan tindakan menghormati kehidupan insani karena ini juga dapat diartikan "mengakhari atau tidak mernperpanjang penderitaan pasien" yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Pada dasarnya "euthanasia" dibedakan menjadi dua, ialah: |
|
Mengenai euthanasia aktif, banyak negara yang menentangnya sekalipun pada kenyataannya sudah banyak negara yang mentolerir tindakan ini, di Amerika Serikat "euthanasia" lebih populer dengan istilah "physician assisted suicicide Negara yang telah memberlakukan diperbolehkannya euthanasia lewat Undang-Undang adalah Negeri Belanda, dan di Amerika Serikat baru ada satu negara bagian yang memperbolehkan euthanasia (assisted suicide) ialah negara bagian Oregon. Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan yang pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerirna tindakan "euthanasia aktif". Mengenai "euthanasia pasif", adalah merupakan suatu "daerah kelabu" karena memiliki nilai yang bersifat "ambigu", yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain bisa dianggap sebagi perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak rnemperpanjang atau guna mengakhiri penderitaan pasien, dengan lebih mernbiarkan penyakit yang diderita pasien berjalan secara alamiah. Bahwa dalarn menghadapi pasien di akhiri hayatnya, dimana ilmu teknologi kedokteran sudah tidak berdaya lagi untuk memberikan kesembuhan, hendaknya berpegang kepada pedoman sebagai berikut: |
|
Selanjutnya pedoman yang lebih rinci dan lebih teknis, adalah merupakan tugas dan Komite Med/k di setiap Rumah Sakit untuk menyusunnya. |
Pasal 17 |
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan Penjelasan khusus yang terkait dengan klonasi/cloning (diadopsi dan basil Keputusan Muktamar XXI/l ID/ tahun 1997, tentang Kionasi (Cloning)) |
Pendahuluan |
Reproduksi (kembang biak) manusia memang dianjurkan atau mungkin diperintahkan oleh Tuhan. Dan melaksanakan anjuran/perintah Tuhan tersebut adalah idaman setiap manusia yang mengaku beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan telah memberi petunjuknya, yaitu melalui pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dan kembang biak (reproduksi) yang terjadi dari pernikahan merupakan hasil kerja-sama antara kedua orang yang menikah tersebut. Secara rinci kerja-sama tersebut berupa persatuan antara sel mani (sel sperma) dan si laki-laki dengan sel telur (ovum) dan si perempuan, yang dan sudut kedokteran (biologi) dikenal sebagai fertilisasi. Lebih dalam lagi persatuan kedua sel tersebut merupakan persatuan materi genetik dari si laki-laki (calon ayah) dan dan si perempuan (calon ibu). Materi genetik yang diturunkan dari ayah dan dan ibu, merupakan ‘nasab’ seseorang, yang tidak akan dapat dipungkiri dan tidak akan dapat ditiadakan. Setiap manusia memiliki ‘nasab’ atau hubungan genetik dengan kedua orangtuanya (ayah dan ibunya). Klonasi, merupakan cara reproduksi salah satu makhluk hidup yaitu bakteri, yang Sangat sederhana. Bakteri ‘membentuk’ salinan dirinya (copy), yang dapat dinilai kembarannya karena memiliki materi genetik yang sama dengan bakteri asalnya. Melalui cara ‘reproduksi’ ini, bakteri memperbanyak diri, dari 1 menjadi 2, lalu menjadi 4 dan kemudian menjadi 16 dst. Proses tersebut dalam mikrobiologi dikenal sebagai ‘cloning’, yang walapun merupakan cara reproduksi (pada bakteri), pada dasarnya berbeda dari reproduksi pada organisme (makhluk hidup) tingkat lebih tinggi seperti umpamanya kodok, ikan, burung, sapi apalagi manusia. Reproduksi (kembang biak) cara bakteri dikenal secara umum sebagai reproduksi aseksual. Pada berbagai makhluk hidup bukan bakteri, reproduksinya secara umum serupa dengan manusia, yaitu ada pertemuan antara Sel kelamin dari induk jantan dan sel kelamin dari induk betina, dan dikenal sebagai reproduksi seksual. Pada reproduksi seksual dikenal adanya induk jantan dan induk betina, tetapi pada klonasi (reproduksi aseksual) tidak terdapat induk jantan dan induk betina. Secara alami, reproduksi aseksual merupakan upaya reproduksi makhluk hidup tingkat rendah. Klonasi sel/jaringan pada manusia sebenarnya bukan hal baru karena bio-teknologi ini dapat dimanfaatkan di bidang kedokteran. Penelitian dan pengembangan antigen dan zat anti monoklonal, yang dapat digunakan dalam segi diagnosis dan pengobatan penyakit tertentu memang telah dilakukan. Klonasi hewan yang sekarang ini terbukti dapat dilakukan di masa mendatang akan membuka era baru dalam bidang embriologi. Melalui klonasi hewan akan dapat dilakukan penelitian klonasi organ, yaitu membuat reproduksi organ tertentu, tanpa melalui reproduksi hewan secara utuh/lengkap. Penelitian semacam ini akan sangat bermanfaat, dalam upaya untuk menyediakan organ tertentu, yang nantinya dapat ditransplantasikan kepada orang yang memang memerlukan transplantasi organ tubuh tertentu. Klonasi pada manusia secara teoritik akan dapat saja dilakukan pada masa mendatang. Setelah keberhasilan melakukan pengklonan pada domba. Melalui upaya tersebut, man usia direproduksi tanpa menyatukan sel kelamin/materi genetik dan ayah (laki-laki) dan sel kelamin/materi genetik dan ibu (perempuan). Seandainya klonasi manusia dilakukan, manusia hasil klonasi tersebut tidak memiliki ayah dan ibu. Keadaan tsb. jelas berbeda dari manusia lain yang normal. Manusia hasil klonasi tersebut memiliki hubungan genetik hanya dengan manusia sumber klonasi. Dan karenanya manusia hasil klonasi (yang merupakan cara reproduksi/kembang-biak bakteri), dapat dinilai ‘sederafat atau setingkat’ dengan bakteri. Berdasarkan kenyataan yang diuraikan seperti tersebut di atas, upaya reproduksi manusia dengan cara klonasi, akan sangat menurunkan derajat dan martabat manusia, Sampai dapat disamakan dengan derajat-martabat bakteri. Dari sudut sosial dan hukum, upaya reproduksi secara klonasi juga akan mengacaukan sistem/pranata sosial dan hukum manusia, karena manusia hasil klonasi tersebut tidak memiliki ayah dan ibu. Ikatan Dokter Indonesia melalui Muktamar yang ke XXIII tahun 1997 di Padang, menyatakan sebagai berikut : |
|
20111118
Addendum 1: Penjelasan Khusus Untuk Beberapa Pasal dan Revisi KODEKI Hasil Mukernas Etika Kedokteran III, April 2001.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar