20111118

Addendum 1: Penjelasan Khusus Untuk Beberapa Pasal dan Revisi KODEKI Hasil Mukernas Etika Kedokteran III, April 2001.

a. Sejarah Etika Kedokieran (Oleh: Prof. Dr. R.S. Samil, SpOG)
Profesi kedokteran mempunyai sejarah mengenai Kode Etik yang bermula sedikitnya kira-kira 2000 SM. Dalam Kode Etik oleh Hammurabi, telah disusun bermacam-macam sistem/peraturan mengenai para dokter. Terdapat pula beberapa bagian mengenai norma-norma tinggi moral/akhlak dan tanggung jawab yang diharapkan harus dimliki oleh para dokter serta petunjuk-petunjuk mengenai hubungan antar dokter dengan pasien; dan beberapa masalah lain.
Etika Kedokteran mempunyai 3 (tiga) azas pokok, yaitu :
  1. Otonomi
    1. Hal ini membutuhkan orang-orang yang kompeten, dipengaruhi oleh kehendak dan keinginannya sendiri, dan kemampuan (kompetensi) ini dianggap dimiliki oleh seorang remaja maupun orang dewasa, yang memiliki pengertian yang adekuat pada tiap-tiap kasus yang dipersoalkan dan memiliki kemampuan untuk menanggung konsekwensi dan keputusan yang secara otonomi atau secara mandiri telah diambil.
    2. Melindungi mereka yang lemah, berarti bahwa kita dituntut untuk memberikan perlindungan dalam pemeliharaan, perwalian, pen gasuhan kepada anak-anak, para remaja, dan orang dewasa yang berada dalam kondisi yang lemah dan tidak mempunyai kemampuan otonomi (mandiri).
  2. Bersifat dan bersikap amal, berbudi baik
    Dasar ini tercantum pada etik kedokteran yang sebenarnya bernada negatif; Primum Non Nocere (Jan gan/ah berbuat merugikan/salah). Hendaknya kita bernada positif dengan berbuat baik, dan apabila perlu kita mulai dengan kegiatan-kegiatan yang merupakan awal kesejahteraan para individu dan masyarakat.
  3. Keadilan
    Azas ini bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dalam transaksi dan perlakuan antar manusia, umpamanya mulai mengusahakan peningkatan keadllan terhadap si individu dan masyarakat dimana mungkin terjadi risiko dan imbalan yang tidak wajar dan bahwa segolongan manusia janganlah dikorbankan untuk kepentingan golongan lain.
Dewasa ini para dokter mungkin terlibat dalam praktek-praktek yang sungguh membahayakan terhadap umat manusia. Sejarah yang menyedihkan ini telah menciptakan pedoman-pedoman yang terdapat dalam Nuremberg Code, yang merumuskan kembali etika kedokteran dan kode-kode internasional lainnya seperti Deklarasi Helsinki mengenai penelitian terhadap manusia yang merupakan dasar bioetika.

Etika adalah usaha mengadakan refleksi yang tertib mengenai gerakan atau instuisi moral dan pilihan moral yang seseorang putuskan. Etika kedokteran dapat diartikan sebagai kewajiban berdasarkan akhlak/moral yang menentukan praktek kedokteran. Selama beberapa dasawarsa terakhir ini masalah-masalah etik kedokteran merupakan masalah yang paling penting daripada kesadaran masyarakat, dengan keprihatinan yang terfokus pada beberapa masalah utama.

Masyarakat saat ini telah mempermasalahkan secara agresif mengenai bagaimana dan kepada siapa pelayanan kesehatan diberikan. Perhatian masyarakat mengenai masalah etik kedokteran telah membawa profesi kedokteran kepada kebutuhan yang meningkat mengenai pandangan-pandangan masyarakat ini, tidak hanya yang berkenaan dengan hubungan antara dokter dengan pasien, tetapi Juga mengenai bagaimana kemaJuan dalam ilmu dan teknologi kedokteran mempengaruhi masalah hak-hak asasi manusia, susunan masyarakat dan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal pelayanan kesehatan.

Tidak jarang diharapkan bahwa pakar etika mampu memecahkan begitu saja masalah moral yang dihadapi. Harapan itu diperkuat lagi oleh kecenderungan untuk meminta jasa ahli etika sebagai konsultan. Bantuan konsultasi di bidang teknik atau finansial, umpamanya. Ahli-ahli terakhir ini menunjukkan Jalan ke luar konkret bagi masalah yang dihadapi. Di bidang moral, keputusan etis harus diambil oleh pelaku moral sendiri. Hal itu tidak bisa diserahkan kepada orang lain. Ahli filsafat inggris C.B. Broad sudah menegaskan It’s no part of the professional business of moral philosophers to tell people what they ought or ought not to do ... Moral philosophers as such, have no special information to the general public about what is right and what is wrong.

Keputusan tentang perbuatan dan tentang kualitas moral perbuatan terletak dalam tangan si pelaku moral sendiri. Dalam konteks profesi hal itu lebih mendesak lagi, karena si pro fesional mengerti lebih baik implikasi etis masalahnya dan cara efisien untuk mengatasinya. Ahli etika hanya bisa membantu dalam mempersiapkan keputusan itu atau dalam men gevaluasi keputusan yang sudah diambil. Secara konkret bantuan yang bisa diberikan ahli etika barangkali dapat disingkatkan sebagai berikut: Menganalisis suatu masalah moral dengan memperlihatkan semua implikasinya dan menjelaskan konsep-konsep yang berperan di dalamnya. Masalah itu sendiri dan konsep-konsep yang dipakai harus Jelas dulu sebelum kita dapat memikirkan suatu pemecahan yang beralasan. Diskusi tentang euthanasia, umpamanya, sering menjadi kacau karena kurang jelas apa yang diartikan dengan istilah itu. Hal yang sama dapat dikatakan tentang hak milik intelektual, hak asasi manusia, keadilan sosial dan banyak diskusi aktual lainnya. Analisis konseptual masalahnya dapat memperlihatkan kompleksitasnya dan menghindari terJadinya pemecahan yang terlalu cepat dan berat sebelah.

Keadaan dunia kita sekarang membutuhkan refleksi etis. Perkembangan ilmu dan teknologi, globalisasi ekonomi perubahan radikal dalam masyarakat; semua faktor ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan moral yang tidak dapat dihindarkan.

Dalam Garis Besar Haluan Negara sudah lama ditekankan bahwa pembangunan tidak merupakan suatu soal material saja, tetapi bahwa segi spiritual harus diikutsertakan pula. Etika justru termasuk segi non-material itu. Waktu dan tenaga yang kita keluarkan untuk etika tidak dipakai dengan sia-sia, tetapi justru akan meningkatkan kualitas pembangunan kita.

Good business, tidak boleh dimengerti semata-mata sebagai bisnis yang membawa untung banyak. Pelayanan kesehatan yang balk tidak saja berarti pelayanan medis yang lulus dalam cost-benefit analysis. Yang baik itu mempunyai arti lebih mendalam lagi, arti moral. Yang baik dalam arti itulah merupakan dimensi paling fundamental dalam kehidupan manusia. Yang baik dalam arti moral memberi nilai terdalam kepada semua kegiatan dan usaha kita. Dalam etika kita memfokuskan dimensi fundamental itu. Memang benar, kita tidak mempunyal kepastian akan memperoleh hasil yang nyata, namun kita yakin Juga mencari sesuatu yang berarti dan bertanggung jawab.

Di negara-negara industri pun dana untuk sistem pelayanan seperti yang sekarang diterapkan secara tepat tidak seimbang dengan sumber-sumber yang ada dan dengan demikian juga tidak dimungkinkan setiap warga negara memperoleh pelayanan kesehatan yang diharapkan.

Sudah jelas, bahwa kita harus meralat ketidak seimbangan antara pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan sosial, dan bahwa kita harus mengadakan penilalan untung ruginya.

Masalah yang menonjol dalam dunia kedokteran dalam dasawarsa akhi-rakhir ini adalah akibat tekanan dan spesialisasi dalam bidang kedokteran yang terus meningkat, dan membawa kita memberi prioritas kepada sarana-sarana pelayanan kesehatan yang sangat canggih dan berlokasi sentral, yang sering tidak ada hubungannya dengan kebutuhan masyarakat. Kita mengerti, bahwa keadaan yang kompleks dan ilmu dan teknologi telah membawa kita ke spesialisasi yang meningkat dan konsentrasi pada era yang semakin sempit. Akibat yang positif dan hal di atas adalah terlihat dan berkembangnya dengan pesat ilmu pengetahuan dan bagaimana para peneliti memperdalam semuannya lebih dalam lagi.

Kerugiannya ialah, bahwa secara kiasan, Jika kita gali makln dalam, makin sukar kita dapat melihat lingkungan kita. Sebagal akibat, terjadllah kurangnya kontak antara spesialis-spesialis kedokteran dan ketidak mampuan dalam profesi medis umumnya untuk dapat melihat bahwa dampak terhadap kesehatan masyarakat dari praktek kedokteran kuratif adalah hanya satu faktor dari sekian banyak faktor sosio-ekonomi, politik dan kultural yang menetapkan derajat kesehatan dalam suatu masyarakat.

Dalam mengamalkan profesinya, setiap dokter akan berhubungan dengan manusia yang sedang mengharapkan pertolongan dalam suatu hubungan kesepakatan terapeutik.

Agar dalam hubungan ini dapat dijaga keenam sifat dasar dl bawah ini, maka disusun Kode Etik Kedokteran Indonesia yang merupakan kesepakatan dokter Indonesia bagi pedoman pelaksanaan profesi.

Kode Etik Kedokteran Indonesia didasarkan pada asas-asas hidup bermasyarakat yaitu Pancasila yang telah sama-sama diakui oleh bangsa Indonesia sebagai falsafah hidup bangsa

Keluhuran dan kemuliaan ini ditunjukkan oleh 6 (enam) sifat dasar yang harus ditunjukkan oleh setiap dokter yaitu:.
  1. Sifat ketuhanan,
  2. Keluhuran budi,
  3. Kemurnian nat
  4. Kesungguhan kerja,
  5. Kerendahan hati, serta
  6. Integritas llmiah dan sosial
Dokter mempunyai tanggung jawab yang besar, bukan saja terhadap manusia lain dan hukum, tetapi terpenting adalah terhadap keinsyafan hatinya sendirian akirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pasien dan keluarganya akan menerima hasil usaha dan seorang dokter, kalau ia percaya akan k’eahlian dokter itu dan kesungguhannya, sehingga mereka tidak menganggap menjadi masalah bila usaha penyembuhan yang dilakukan gagal. Perlu diperhatikan bahwa perbuatan setiap dokter, mempengaruhi pendapat orang banyak terhadap seluruh "corps" dokter.

Pelayanan yang diberikan kepada pasien yang dirawat hendaknya adalah seluruh kemampuan sang dokter dalam bidang ilmu pengetahuan dan perikemanusiaan.

Masa kini adalah masa pembangunan dimana pertumbuhan ekonomi sedang diusahakan. Kehidupan agraris mulal berubah ke arah industrialisasi dimana efisiensi dan upaya mencapai peningkatan perekonomian pribadi sangat menonjol. Masyarakat mulai merasa bahwa dengan uang, segala yang dikehendaki dapat diraih.

Masyarakat menjadi kritis, jeli dan makin pandai. Termasuk di dalam kekecewaan atas pelayanan profesi kedokteran yang mudah terjadi. Sedikit saja kelemahan dokter, akan dipakai untuk mengadu kepengadilan. Masyanakat semakin sadar akan haknya untuk memperoleh pelayanan yang baik dan bermutu.

Masyarakat dokterpun tidak luput dan perubahan tersebut, sehingga kemungkinan pelangganan Kode Etik ini sangat besar. Profesi kedokteran menuntut budi pekerti yang luhur. Tuhan Yang Maha Esa telah membuka, kesempatan bagi umatnya khususnya dokter untuk secara nyata menolong meringankan penderitaan sesamanya. Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Negara Bangsa dan kemanusiaan kita mempertanggung jawabkan pelaksanaan pengamalan profesi dokter.
b. Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Penjelasan khusus yang terkait dengan promosi terhadap komoditas yang berhubungan dengan praktik dokter (diadopsi dan hasil Keputusan Muktamar XXIII IDI tahun 1997, tentang promosi obat, kosmetika, alat dan sarana kesehatan, makanan dan minuman serta perbekalan kesehatan rumah tangga).
Pendahuluan
Kehidupan di era global merupakan kehidupan yang amat dinamik. Keperluan terhadap barang, jasa dan informasi dirasakan amat mendesak. Demikian pula dinamika arus obat, kosmetika, alat dan sarana kesehatan, makanan minuman dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Salah satu pola dinamika terhadap berbagai komoditi tersebut adalah melalui sarana komunikasi yang untuk efektif dan efisiennya memerlukan upaya-upaya promosi, baik langsung maupun tidak langsung yang tertuju ke masyarakat luas. Aktivitas tersebut antara lain berbentuk iklan di berbagai media massa dan elektronik, baik iklan biasa Iayanan masyarakat, berbagai tampilan lainnya dalam arti luas yang bersifat promosi suatu kepentingan, penyuluhan maupun sekedar hiburan. Pribadi dokter merupakan salah satu daya tarik tersendiri terhadap aktivitas promosi berbagai hal di atas sehingga telah banyak upaya-upaya untuk melibatkan dokter sebagai pemerannya, baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini mungkin terjadi mengingat bahwa dalam hubungan dokter - pasien, kedudukan dokter yang rela tif lebih stabil dan menguntungkan dibandingkan dengan kondisi (masyarakat) pasien yang relatif sedang menderita sehingga kurang memiliki alternatif logis dalam menentukan pilihan yang rasional. Seorang dokter dalam kegiatan tersebut jelas akan meningkatkan daya saing dan sekaligus daya jual berbagai komoditi tersebut. Sedangkan pada sisi lainnya, profesi kedokteran tetap merupakan profesi pengabdian kepada sesama dengan penuh kasih sayang untuk kepentingan kemanusiaan yang keberadaannya dibatasi oleh rambu-rambu etika kedokteran yang universal.

Bahwa industri kesehatan makin berkembang dan adanya persaingan yang ketat, apalagi kalau sudah masuk pada masa pasar terbuka. Bahwa ketatnya

persaingan telah menyeret beberapa dokter sebagai bagian dan upaya-upaya memenangkan persaingan. Bentuk-bentuk upaya yang melibatkan dokter telah muncul dalam berbagai pemberitaan media massa yang telah meresahkan masyarakat maupun kalangan dokter. Karena itu pula dibuat panduan atau standar yang lebih tegas yang dapat dijadikan pedoman bagi para anggota IDI dalam bersikap dan bertindak atau bekerja sama dengan pihak-pihak lain.

Bahwa terdapat keluhan masyarakat umum maupun kedokteran terhadap hal-hal yang dapat menurunkan citra dan martabat profesi kedokteran seperti; dugaan kolusi oknum dokter dengan industri farmasi, iklan promosi di media elektronik yang melibatkan sosok dokter, informasi tentang pengobatan baru atau alternatif yang belurn teruji, dan terkesan rnempromosikan diri sehingga dapat menyesatkan masyarakat

Berdasarkan sumpah dokter, KODEKI dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat maka berkaitan dengan promosi obat, kosmetika, alat dan sarana kesehatan, rnakanan minuman dan perbekalan kesehatan rumah tangga, Muktarnar IDI menyatakan hal-hal sebagai berikut;
  1. Pada dasarnya dokter sama sekali tidak boleh melibatkan diri dalam berbagai kegiatan promosi segala macam komoditi tersebut di atas termasuk barang-barang jasa dan informasinya mengingat dokter adalah profesi yang berdasarkan pada pen gabdian tulus, panggilan hati nurani dan bertradisi luhur membaktikan dirinya untuk kepentingan kemanusian sernentara promosi selalu terkait kepada kepentingan-kepentingan yang seringkali bertentangan atau tidak rnenunjang tugas mulia kedokteran.
  2. Wahana promosi yang melibatkan sosok dokter pada hakekatnya adalah wahana llmiah kedokteran yang lazim seperti berbagai temu ilmiah, jurnal serta wacana ilmiah lainnya.
  3. Pada prinsipnya dokter praktek tidak diperkenankan menerima komisi dari hasil penjualan suatu produk kedokteran yang berkaitan dengan kegiatan pelayanan kedokterannya, karena hal tersebut dapat menghilangkan kebebasan profesinya.
    1. Menerima komisi atas penulisan resep obat/alat kedokteran dari industri farmasi/alat kedokteran tertentu.
    2. Oleh karena itu hal-hal tersebut dibawah ini dilarang dilakukan oleh dokter praktek:
    3. Melakukan "penekanan" kepada industri farmasi, seperti pernyataan tidak akan menuliskan resep obat-obat dari pabrik farmasi tertentu jika tidak memberi imbalan tertentu untuk kepentingan pribadinya.
    4. Mendapat atau meminta komisi dari sarana penunjang medis (missal laboratorium, radiologi dsb), atas pasien yang dirujuknya ke sarana tersebut.
  4. Promosi dalam bentuk iklan berbagai komoditi tersebut di atas yang melibatkan seorang dokter sebagai pemerannya harus senantiasa dipandang sebagai berpeluang membahayakan dan menurunkan harkat kemanusiaan apabila diterima oleh masyarakat awam yang tidak terdidik dan tidak kritis karena mereka menganggap hal itu selalu benar. Apalagi khususnya pasien yang kondisinya seringkali tidak mampu lagi berpikir jernih dan sulit melihat alternatif logis.
  5. Perbuatan dokter sebagai pemeran mandiri dan langsung suatu iklan promosi komoditi tersebut di atas yang dirnuat media massa dan elektronik sebagai iklan atau yang dapat ditafsirkan sebagai iklan merupakan perbuatan tercela karena tidak bisa menyingkirkan penafsiran adanya suatu niat lain untuk memuji diri sendiri sebagaimana yang telah ditentukan dalam kode etik kedokteran. Walau bagaimanapun baiknya, aktivitas promosi itu dibatasi oleh ketidak mampuan media tersebut sebagai wahana komunikasi ilmiah kedokteran sebagaimana ciri-ciri utama suatu profesi.
  6. Perbuatan dokter yang langsung menyebut, menulis atau hal-hal yang bisa dikaitkan dengan penyebutan dan penulisan nama dagang dan atau sebutan khas produk/komoditi tersebut merupakan perbuatan tercela. Apalagi dengan menyebutkan jati dirinya sebagai dokter
  7. Perbuatan dokter sebagai pemeran tidak langsung sosok dokter sebagai iklan layanan masyarakat, features, kolom/acara display, kolom/acana hiburan, kolom/acara dialog, film dokumenter, film singkat, sinetron dan lain-lain merupakan perbuatan tercela apabila dilakukan dengan itikad memuji diri sendiri, atau menyebutkan jati dirinya bahwa Ia seorang dokter, atau ditayangkan atau diterbitkan berulang-ulang, baik sebagian atau keseluruhan terbitan atau tayangan tersebut, atau karena oleh kalangan rata-rata sejawat dokter lainnya ditafsirkan sebagai adanya anjuran untuk memi!ih atau membela kepentingan komoditi tersebut dan atau oleh mereka dianggap adanya iklan terselubung. Apalagi misi yang dibawakan hanyalah masalah yang sehari-hari, yang remeh-remeh atau hanya mencerminkan gaya hidup kelompok masyarakat tertentu yang terbatas.> Perkecualian adalah bahwa untuk memerankan hal itu tidak ada seorangpun artis non dokter atau mahasiswa kedokteran yang sanggup menjalankannya atau keberadaan sosok dokter akan sangat membantu memberikan informasi bagi keadaan yang benar-benar amat penting bagi jalan keluar dan masalah kesehatan masyarakat, atau keamanan bangsa dan negara Indonesia
  8. Perbuatan dokter sebagai pemeran Iangsung promosi komoditi tertentu kendatipun dalam wahana ilmiah kedokteran merupakan perbuatan tercela bila bertentangan dengan kepentingan kemanusiaan dan tujuan kedokteran itu sendiri tidak berlandaskan pengetahuan kedokteran tertinggi dalam bidangnya, belum diyakini sebagai produk yang layak diberikan kepada manusia yang sedang sakit, dan hal itu tidak akan dilakukan kepada dirinya sendiri maupun sanak keluanganya bila mengalami hal yang sama. Apalagi hal itu semata-mata hanya dilakukan berdasarkan adanya kepentingan memperoleh imbalan, fasilitas atau bantuan yang patut diduga akan diperoleh dari pihak lain atau pihak manapun juga, karena hal ini benar-benar bertentangan dengan otonomi profesi yang bertanggung jawab.
  9. katan Dokter Indonesia (IDI) mengecam segenap perbuatan dan pihak manapun dalam hal kegiatan promosi suatu produk atau komoditi yang berupaya atau ditafsirkan sebagai upaya untuk menurunkan keluhuran profesi kedokteran, apalagi hal itu dilakukan dengan sengaja, dengan itikad tidak balk, hanya untuk kepentingan segelinting kelompok dalam masyarakat tertentu, hanya merupakan masalah yang sesaat, remeh dan tidak menyelesaikan kedudukan dokter sebagal sosok yang dihormati masyarakat.
  10. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menghimbau kepada pihak pers dan media massa serta periklanan dan masyarakat luas untuk menghormati norma sebagaimana yang telah dibakukan dalam lafal sumpah dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
  11. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menghimbau kepada berbagai pihak agar terlebih dahulu mengikut sertakan dan mempertimbangkan pandangan kalangan profesi kedokteran dalam setiap upaya promosi semua komoditi yang melibatkan sosok dokter sebagai pemerannya
  12. Perbuatan dokter yang menyiarkan, mempromosikan cara-cara pengobatan "alternatif" yang belum diterima kesahihannya dalam ilmu kedokteran baik pada media cetak atau media elektronik merupakan perbuatan tercela karena hal tersebut dapat menyesatkan masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.

Penjelasan khusus yang terkait dengan "Surat Keterangan Medis". (Oleh: Dr. Budi Sampurno, Sp.F, SH)
Surat keterangan medis adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter untuk tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit pasien atas permintaan pasien atau atas permintaan pihak ketiga dengan persetufuan pasien.

Surat keterangan medis harus dibuat berdasarkan hasiI pemriksaan medis yang secara teknis medis relevan, memadai dan benar serta diinterpretasikan dengan menggunakan ilmu pengetahuan kedokteran yang telah diterima pada saat itu (state-of-the-ant).

Dokter pembuat surat keterangan medis tersebut harus dapat membuktikan kebenaran keterangannya apabila diminta. Dengan kalimat "memeriksa sendiri kebenarannya" sebagaimana tercantum dalam pasal ini berarti bahwa dokter tersebut menginterpretasikan hasil-hasil pemeriksaan medis yang telah diyakini kebenarannya, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang dilakukan oleh sejawatnya atau hasil konsultasinya.

Surat keterangan sehat diberikan untuk memenuhi keperluan tertentu. Perlu diingat bahwa, sehat untuk suatu keperluan tertentu membutuhkan tingkat kesehatan yang tertentu pula. Tingkat kesehatan untuk membuat surat izi mengemudi (SIM) berbeda dengan tingkat kesehatan untuk masuk sekolah atau perguruan tinggi, menjadi tentara, menjadi pilot dll. Oleh karena itu surat keterangan sehat harus menyebutkan tujuannya, apakah untuk membuat SIA mendaftar sekolah atau perguruan tinggi dan sebagainya.

Surat keterangan sakit atau istirahat sakit harus dibuat berkaitan dengan suatu keadaan sakit tertentu (pathology, impairment, disability dan handical dan ditujukan sebagai salah satu upaya penyembuhan penyakit tersebut.

Keterangan ini tidak menyebutkan diagnosis penyakitnya, melainkan hanya menyebutkan bahwa pasien sedang sakit dan membutuhkan istirahat selama jumlah hari tertentu. Namun, pada umumnya pemberian istirahat sakit lebih dari 14 (empat belas) hari mengharuskan disebutnya diagnosis penyakit pasien tersebut.

Surat keterangan medis yang dibuat atas permintaan resmi penyidik yang berwenang tentang hasil pemeriksaan medis atas seseorang manusia, baik

sewaktu hidup ataupun setelah meninggal, yang dibuat berdasarkan sumpah dan menggunakan ilmu pengetahuan kedokterannya serta ditujukan untuk kepentingan peradilan pada umumnya, disebut sebagai visum et repertum.

Namun demikian terdapat pula keterangan yang tidak disebut sebagai visum et repentum meskipun ditujukan untuk kepentingan peradilan, seperti surat keterangan sakit untuk tidak dapat menghadiri persidangan, keterangan sakit untuk tidak diperiksa/diinterogasi keterangan sakit bagi tahanan dan terpidana, dan keterangan tentang kelayakan untuk disidangkan (fitness to stand trial).

Keterangan-keterangan seperti ini sebaiknya dibuat oleh dokter yang bukan sebagai dokter pengobat orang tersebut.

Pada hakekatnya seseorang yang membutuhkan perawatan inap di rumah sakit dapat dinyatakan sebagai sakit dan tidak dapat dimasukkan ke dalam tahanan (kecuali dalam rumah sakit tahanan) ataupun diajukan ke sidang pengadilan.

Selain itu, seseorang yang memiliki gangguan mental tertentu dapat dinyatakan sebagai "tidak layak diajukan ke pengadilan. Kelayakan seseorang diajukan ke pengadilan itu harus diputuskan oleh psikiater dan diperoleh dari suatu pemeriksaan psikiatris yang adekuat, serta melalui prosedur hukum yang berlaku.

Seorang tahanan ataupun terpidana bukanlah orang yang memiliki hak sipil yang penuh, sehingga ia tidak memiliki kebebasan penuh dalam memilih dokter atau rumah sakit tempat Ia akan dirawat. Dengan pertimbangan keamanan, penyidik atau jaksa penuntut umum berwenang menentukan tempat perawatan tahanan setelah berkonsultasi dengan dokter. Dokter diharapkan untuk tidak dengan mudah merujuk pasiennya yang berstatus tahanan atau terpidana ke sarana kesehatan di luar negeri tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak yang berwenang.

Keterangan dokter dapat juga diberikan tidak dalam bentuk tertulis, misalnya penjelasan kepada pasien dalam rangka pemenuhan hak pasien atas informasi medisnya atau dalam rangka memperoleh informed consent. Dalam hal ini dokter diharapkan memberikan informasi yang benar, jujur, lengkap, dan sejelasjelasnya sehingga pasien dapat memahami dan membuat keputusan dengan bebas.
Pasal 7c
Seorang dokterharus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan tenaga kesehatan Iainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien

Penjelasan khusus yang terkait dengan "Uraian Hak-hak Pasien dan Hak-hak Dokter". (OIeh: Dr. Budi Sampurno, Sp.F, SH)
Hak-hak pasien telah diatun dalam beberapa ketentuan, yaitu di dalam :
  1. Declaration of Lisbon (1991)
  2. Penjelasan pasal 53 UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
  3. Surat Edaran (SE) Ditjen Yanmed Depkes RI No YM.02.04.3.5.2504 tentangPedoman Hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit.
  4. Deklarasi Muktamar IDI 2000 tentang Hak dan kewajiban pasien dan dokter
Dalam Deklarasi Lisabon (1991) hak-hak pasien tersebut adalah :
  1. Hak memilih dokter
  2. Hak dinawat dokter yang "bebas"
  3. Hak menerima / menolak pengobatan setelah menerima informasi
  4. Hak atas kerahasiaan
  5. Hak mati secara bermartabat
  6. Hak atas dukungan moral / spiritual
Sedangkan dalam UU Keseha tan disebutkan antana lain:
  1. Hak atas informasi
  2. Hak atas "second opinion"
  3. Hak memberikan persetujuan pengobatan / tindakan medis
  4. Hak atas kerahasiaan
  5. Hak pelayanan kesehatan
Selanjutnya hak-hak pasien secara rinci juga diuraikan dalam SE Ditjen Yanmed Depkes RI No YM.02.04.3.5.2504 dan dalam Deklarasi Muktamar IDI2000 tentang Hak dan kewajiban pasien dan dokter. Lebih jauh tentang hak-hak pasien dapat dilihat di buku "The Rights of Patients in Europe" (Leenen dkk, 1993) dan "Etika Kedokteran Indonesia" (Samil 2001).

Dokter harus menghormati hak sejawatnya, yang pada prinsipnya terdiri dari hak profesi dan hak perdata. Sejawat berhak memperoleh kesempatan untuk mempraktekkan profesinya dengan bebas, etis dan bermartabat, serta berhak mengembangkan sikap profesionalismenya. Demikian pula tenaga kesehatan lainnya juga memiliki hak-hak profesi serupa yang harus dihormati oleh dokter.

Selain hak profesi di atas, dokter juga harus menghormati hak-hak sipil/perdata yang dimiliki oleh setiap orang dalam diri para sejawatnya dan tenaga kesehatan lainnya.

Menjaga kepercayaan pasien dilakukan dengan cara melakukan segala sesuatu dengan ramah, sopan, penuh empati dan belas kasihan. Tentu saja tanpa melupakan sikap etis, bertindak sesual standar profesi dan tidak melakukan tindakan yang tercela atau melanggar hukum.
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani
a. Penjelasan khusus yang terkait dengan "Keikutsertaan Dokter dalam Eksekusi Pidana Mati, termasuk
Penyiksaan
" (Oleh: Dr. Budi Sampurna, Sp.F, SH).

Profesi kedokteran adalah satu-satunya atau setidaknya profesi yang pertama kali menyatakan dalam sumpah profesinya untuk bekerja membela peri-kemanusiaan, tidak akan melakukan perbutan yang bertentangan dengan peri-kemanusiaan, dan melindungi kehidupan manusia. Pernyataan ini pula yang merupakan salah satu alasan yang menjadikan profesi kedokteran menjadi pro fesi yang luhur dan bermartabat.
Kata-kata "sejak saat pembuahan" yang ada dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia sebelumnya telah dihilangkan dengan pertimbangan sebagal benikut:
  1. Bahwa esensi kewajiban dokter untuk melindungi hidup insani adalah sejak awal kehidupan hingga akhir kehidupan.
  2. Bahwa alat kontrasepsi IUD yang telah diterima dalam masyarakat Indonesia sebenarnya bekerja bukan dengan cara mencegah konsepsi (pembuahan) melainkan dengan cara mencegah nidasi atau berarti konsepsi telah terjadi, sehingga norma penghormatan hidup insani sejak saat pembuahan menjadi tidak tepat lagi.
  3. Bahwa perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran telah memungkinkan dilakukannya pembuahan in-vitro (bayi tabung) yang berdampak adanya hasil konsepsi yang tidak ditanam di uterus
  4. Bahwa atas pertimbangan di atas pula maka dalam persidangan World Medical Association Assembly ke-35 di Venice tahun 1983, maka text International Code of Medical Ethics tidak mencantumkan lagi kata "sejak saat pembuahan".
Konsekuensi dan sikap menghormati kehidupan makhluk insani ini adalah bahwa setiap tindakan dokter yang melemahkan atau menghentikan atau tidak berupaya mempertahankan suatu kehidupan manusia tanpa alasan yang dapat dibenarkan, dianggap sebagai tindakan yang tidak etis.

Deklarasi Tokyo adalah pernyataan dan World Medical Association pada tahun 1975 dalam persidangannya ke 29 di Tokyo. Dalam preambul deklarasi ini dinyatakan bahwa dokter wajib tetap menghormati kehidupan insani meskipun, dalam keadaan diancam serta tidak menggunakan Ilmu kedokteran untuk tujuan yang bertentangan dengan kemanusiaan.

Deklarasi Tokyo melarang dokter turut serta atau berpantisipasi dalam tindakan penyiksaan atau tindakan lain yang brutal, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Dokter dilarang menyediakan cara, alat, bahan atau pengetahuannya guna memudahkan terjadinya penyiksaan,

termasuk mengevaluasi kesehatan seseorang sebelum, selama dan sesudah penyiksaan guna kepentingan berjalannya penyiksaan itu; bahkan hadir di tempat terjadinya penyiksaan pun dilarang.

Dalam hal in penyiksaan diartikan sebagai setiap tindakan kesengajaan yang sistematik atau ketidak hati-hatian, yang merusak fisik atau mengakibatkan penderitaan mental seseorang, yang dilakukan oleh satu orang atau lebih yang bertindak sendiri atau atas perintah pihak yang berwenang, untuk memaksa seseorang guna memperoleh informasl, pengakuan atau untuk tujuan lain.

WMA juga meresolusikan suatu sikap bahwa adalah tidak etis bagi dokter yang turut serta atau berpartisipasi dalam suatu eksekusi hukuman mati, dengan cara apapun, dan dalam tahap apapun dalam proses eksekusi tersebut (Resolusi WMA tahun 1981 dan 2000).
b. Penjelasan khusus yang terkait dengan "Letting Die Naturally Dan Minimal Treatment Versus Euthanasia". (OIeh: Dr.
man Human, Sp.Rad, MPH)
Pasal 7d yang mengharuskan dokter untuk "senantiasa melindungi hidup makhluk insani", bersumber dari "Sumpah Dokter" (yang berlaku sampai saat ini, yaltu hasil penyempurnaan Rakennas MKEK-MP2A tahun 1993, khususnya lafal sumpah yang ke-6, 7 dan 8, ialah:
  1. Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan dokter saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.
  2. Saya akan menghormati setiap hidup insani muai dan saat pembuahan.
  3. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien.
Dalam mengamalkan kewajiban "melindungi hidup makhluk insani" ini seorang dokter harus senantiasa mengingat hal-hal sebagai berikut:
  1. Bahwa hidup mati seseorang adalah merupakan kekuasaan Tuhan, dan bahwa pada hakekatnya manusia dalam menghadapi permasalahan hidup dan mati ini haRus berpedoman pada agama yang dianutnya masing-masing.
  2. Bahwa betapapun majunya dan tingginya ilmu dan teknologi (iptek) kedokteran yang telah kita capai namun semua ini memiliki keterbatasan, hingga pada batas tertentu seorang dokter harus mengakui bahwa dia tidak lagi akan dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
  3. Bahwa perkembangan dan kemajuan IPTEK khususnya di bidang kedokteran, di samping telah membawa banyak manfaat bagi kehidupan manusia, di pihak lain telah membawa persoalan baru yang terutama sangat erat kaitannya dengan permasalahan moral, diantaranya telah membuat kaburnya batas-batas antara hidup dan mati, dan bahwa tugas dokter dalam melakukan intervensi medik terhadap pasiennya bukan hanya sekedar bertujuan untuk "mempertahankan hidup dan memperpanjang usia" tetapi juga harus mempertimbangk.an "kwalitas hidup", yaltu "hidup yang bagaimana" yang harus kita pertahankan itu.
  4. Bahwa nilai-nilai moral dan agama lebih merupakan pedoman bagi seorang dokter dalam bersikap dan bertindak sesuai kebenaran yang diyakininya, dan yang harus dipertanggug jawabkan kepada hati nuraninya sendiri dan Tuhan yang sesuai dengan keyakinannya masing-rnasing, sehingga lebih bersifat subyektif. Sementara yang lebih obyektif ialah sumber hukum berupa perundang-undangan mengatur permasalahan "hidup mati" seseorang, khususnya yang berkaitan dengan saat-saat kritis dalam rangkalan pengembangan di masa mendatang. Demikian pula bahwa Kode Etik Kedokteran sering tidak berdaya lagi dalam menghadapi isu-isu baru sebagal akibat perubahan yang cepat dan drastis dari iptek kedokteran
Maka dalam menghadapi semua kenyataan ini pertama-pertarna seorang dokter sejak awal harus menjalin hubungan yang baik dengan pihak keluarga pasien. Setiap pengambilan keputusan baik untuk tujuan diagnostik, terapi maupun berbagil tindakan lainnya, harus selalu dengan persetujuan pasien dan atau keluarganya.
Dalam mengamalkan pasal 7d KODEKI, yang berbunyi "Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani", maka yang jelas dilarang baik oleh Kode Etik Kedokteran, juga dilarang oleh Agama maupun Undang-Undang Negara adalah perbuatan-perbuatan:
  1. Menggugurkan kandungan (abortus) tanpa indikasi yang benar.
  2. Mengakhiri kehidupan seseorang pasien dengan alasan bahwa menurut ilmu kedokteran penyakit yang dideritanya tidak mungkin lagi bisa disembuhkan (euthanasia).
Tindakan aborsi yang dibenarkan oleh undang-undang sampai saat ini, y.i. sebagaimana termuat dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 15, hanya dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil. Dan inipun hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk ini, serta berdasarkan pertimbangan tim ahli, dan harus ada persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya, dan harus dilakukan di sarana kesehatan tertentu (rumah sakit). (Dan inipun PP-nya masih belum keluar). Tindakan aborsi atas indikasi-indikasi lain seperti sosial, humaniten dan eugenetik, seperti di negara-negara lain, yang bukan hanya untuk menolong si ibu, melainkan juga dengan pertimbangan demi keselamatan si anak, baik jasmaniah maupun rohaniyahnya, sampai saat ini di Indonesia belurn ada undang-undangnya. Mernang dengan alasan kemajuan dalam bidang diagnostik prenatal, dengan dapat ditemukannya berbagai penyakit bawaan yang berat dan penyakit genetik yang tidak memungkinkan bayinya dapat hidup normal, sudah banyak tuntutan untuk dibuat undang-undang yang memperbolehkan dilakukannya tindakan aborsi dengan indikasi yang lebih luas. Dengan kemajuan iptek di bidang kesehatan reproduksi dan fertilitas, juga banyak permasalahan yang tidak lagi bisa terjangkau oleh Kode Etik Kedokteran; demikian pula yang ada dalam UU No. 23 tahun 1992, tentang Kesehatan, masih terbatas pada "kehamilan di luar cara alami" ("bayi tabung"), yaitu sebagaimana diuraikan dalam pasal 16 yang terdiri dari tiga ayat. Dalam pasal 16 ini hanya menyebutkan bahwa upaya kehamilan di luar cara alami hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang syah, dan hasil pembuahan sperma dan ovum dan suami istri tersebut ditanamkan dalam rahim istri dan mana pembuahan sperma dan ovum berasal, dan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk serta dilakukan di sarana kesehatan tententu (rumah sakit). Dalarn pasal 16 dari UU No. 23 tahun 1992 ini, jelas bahwa "sewa rahim" (surrogate motherho tidak diperbolehkan di Indonesia. sementara mengenai perlakuan terhadap sisa kelebihan embryo, penyimpanan embryo dan lain-lainnya yang berkaitan dengan ini masih belum diatur. Kemungkinan akan dijabarkan pengaturannya dalam PP yang masih belurn dibuat.
Mengenai "euthanasia" akhir-akhin ini banyak menarik perhatian, khususnnya sehubungan dengan dampak dan perkembangan dan kernajuan IP11 Kedokteran. Di satu sisi ini mempunyai nilai negatif karena istilah ini mempunnyai arti sebagai "pembunuhan tanpa penderitaan" (mercy killing) terhadap pasien yang tidak dapat diharapkan lagi untuk disembuhkan, narnun di pihak lain dapat dianggap sebagai bagian dan tindakan menghormati kehidupan insani karena ini juga dapat diartikan "mengakhari atau tidak mernperpanjang penderitaan pasien" yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Pada dasarnya "euthanasia" dibedakan menjadi dua, ialah:
  1. Euthanasia aktif, yaitu berupa tindakan "mengakhiri kehidupan", misalnnya dengan memberikan obat dengan dosis lethal kepada pasien.
  2. Euthanasia pasif, yaitu tindakan atau perbuatan "membiarkan pasien meninggal", dengan cara misalnya tidak melakukan intervensi medik atau menghentikannya seperti pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu pernafasan, tidak melakukan resusitasi, penundaan operasi dan lain sebagainya.
Mengenai euthanasia aktif, banyak negara yang menentangnya sekalipun pada kenyataannya sudah banyak negara yang mentolerir tindakan ini, di Amerika Serikat "euthanasia" lebih populer dengan istilah "physician assisted suicicide Negara yang telah memberlakukan diperbolehkannya euthanasia lewat Undang-Undang adalah Negeri Belanda, dan di Amerika Serikat baru ada satu negara bagian yang memperbolehkan euthanasia (assisted suicide) ialah negara bagian Oregon. Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan yang pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerirna tindakan "euthanasia aktif".

Mengenai "euthanasia pasif", adalah merupakan suatu "daerah kelabu" karena memiliki nilai yang bersifat "ambigu", yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain bisa dianggap sebagi perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak rnemperpanjang atau guna mengakhiri penderitaan pasien, dengan lebih mernbiarkan penyakit yang diderita pasien berjalan secara alamiah.

Bahwa dalarn menghadapi pasien di akhiri hayatnya, dimana ilmu teknologi kedokteran sudah tidak berdaya lagi untuk memberikan kesembuhan, hendaknya berpegang kepada pedoman sebagai berikut:
  1. Sampaikan kepada pasien. dan atau keluarganya keadaan yang sebenarnya dan sejujur-jujurnya mengenai penyakit yang diderita pasien.
  2. Dalam keadaan dimana ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak dapat lagi diharapkan untuk memberi kesembuhan, maka upaya perawatan pasien bukan lagi ditujukan untuk memperoleh kesembuhan melainkan harus Iebih ditujukan untuk memperoleh kenyamanan dan meringankaN penderitaan.
  3. Bahwa tindakan menghentikan usia pasien pada tahap menjelang ajalnya, tidak dapat dianggap sebagai suatu dosa, bahkan patut dihormati. Namun demikian dokter wajib untuk terus merawatnya, sekalipun pasien dipindah ke fasilitas Iainnya.
  4. Beban yang menjadi tanggungan keluarga pasien harus diusahakan seringan mungkin; dan apabila pasien meninggal dunia, seyogyanya bantuan diberikan kepada keluarganya yang ditinggal.
  5. Bahwa apabila pasien dan atau keluarga pasien menghendaki menempuh cara "pengobatan alternatif", tidak ada alasan untuk melarangnya selama tidak membahayakan bagi dirinya.
  6. Bahwa dalam menghadapi pasien yang secara medis tidak memungkinkan lagi untuk disembuhkan, termasuk penderita "dementia" lanjut, disarankan untuk memberikan "Perawatan Hospis" (Hospice Care).
Selanjutnya pedoman yang lebih rinci dan lebih teknis, adalah merupakan tugas dan Komite Med/k di setiap Rumah Sakit untuk menyusunnya.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan
Penjelasan khusus yang terkait dengan klonasi/cloning (diadopsi dan basil Keputusan Muktamar XXI/l ID/ tahun 1997, tentang Kionasi (Cloning))
Pendahuluan
Reproduksi (kembang biak) manusia memang dianjurkan atau mungkin diperintahkan oleh Tuhan. Dan melaksanakan anjuran/perintah Tuhan tersebut adalah idaman setiap manusia yang mengaku beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan telah memberi petunjuknya, yaitu melalui pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dan kembang biak (reproduksi) yang terjadi dari pernikahan merupakan hasil kerja-sama antara kedua orang yang menikah tersebut. Secara rinci kerja-sama tersebut berupa persatuan antara sel mani (sel sperma) dan si laki-laki dengan sel telur (ovum) dan si perempuan, yang dan sudut kedokteran (biologi) dikenal sebagai fertilisasi. Lebih dalam lagi persatuan kedua sel tersebut merupakan persatuan materi genetik dari si laki-laki (calon ayah) dan dan si perempuan (calon ibu). Materi genetik yang diturunkan dari ayah dan dan ibu, merupakan ‘nasab’ seseorang, yang tidak akan dapat dipungkiri dan tidak akan dapat ditiadakan. Setiap manusia memiliki ‘nasab’ atau hubungan genetik dengan kedua orangtuanya (ayah dan ibunya).

Klonasi, merupakan cara reproduksi salah satu makhluk hidup yaitu bakteri, yang Sangat sederhana. Bakteri ‘membentuk’ salinan dirinya (copy), yang dapat dinilai kembarannya karena memiliki materi genetik yang sama dengan bakteri asalnya. Melalui cara ‘reproduksi’ ini, bakteri memperbanyak diri, dari 1 menjadi 2, lalu menjadi 4 dan kemudian menjadi 16 dst. Proses tersebut dalam mikrobiologi dikenal sebagai ‘cloning’, yang walapun merupakan cara reproduksi (pada bakteri), pada dasarnya berbeda dari reproduksi pada organisme (makhluk hidup) tingkat lebih tinggi seperti umpamanya kodok, ikan, burung, sapi apalagi manusia. Reproduksi (kembang biak) cara bakteri dikenal secara umum sebagai reproduksi aseksual. Pada berbagai makhluk hidup bukan bakteri, reproduksinya secara umum serupa dengan manusia, yaitu ada pertemuan antara Sel kelamin dari induk jantan dan sel kelamin dari induk betina, dan dikenal sebagai reproduksi seksual.

Pada reproduksi seksual dikenal adanya induk jantan dan induk betina, tetapi pada klonasi (reproduksi aseksual) tidak terdapat induk jantan dan induk betina. Secara alami, reproduksi aseksual merupakan upaya reproduksi makhluk hidup tingkat rendah.

Klonasi sel/jaringan pada manusia sebenarnya bukan hal baru karena bio-teknologi ini dapat dimanfaatkan di bidang kedokteran. Penelitian dan pengembangan antigen dan zat anti monoklonal, yang dapat digunakan dalam segi diagnosis dan pengobatan penyakit tertentu memang telah dilakukan.

Klonasi hewan yang sekarang ini terbukti dapat dilakukan di masa mendatang akan membuka era baru dalam bidang embriologi. Melalui klonasi hewan akan dapat dilakukan penelitian klonasi organ, yaitu membuat reproduksi organ tertentu, tanpa melalui reproduksi hewan secara utuh/lengkap. Penelitian semacam ini akan sangat bermanfaat, dalam upaya untuk menyediakan organ tertentu, yang nantinya dapat ditransplantasikan kepada orang yang memang memerlukan transplantasi organ tubuh tertentu.

Klonasi pada manusia secara teoritik akan dapat saja dilakukan pada masa mendatang. Setelah keberhasilan melakukan pengklonan pada domba. Melalui upaya tersebut, man usia direproduksi tanpa menyatukan sel kelamin/materi genetik dan ayah (laki-laki) dan sel kelamin/materi genetik dan ibu (perempuan). Seandainya klonasi manusia dilakukan, manusia hasil klonasi tersebut tidak memiliki ayah dan ibu. Keadaan tsb. jelas berbeda dari manusia lain yang normal. Manusia hasil klonasi tersebut memiliki hubungan genetik hanya dengan manusia sumber klonasi. Dan karenanya manusia hasil klonasi (yang merupakan cara reproduksi/kembang-biak bakteri), dapat dinilai ‘sederafat atau setingkat’ dengan bakteri.

Berdasarkan kenyataan yang diuraikan seperti tersebut di atas, upaya reproduksi manusia dengan cara klonasi, akan sangat menurunkan derajat dan martabat manusia, Sampai dapat disamakan dengan derajat-martabat bakteri. Dari sudut sosial dan hukum, upaya reproduksi secara klonasi juga akan mengacaukan sistem/pranata sosial dan hukum manusia, karena manusia hasil klonasi tersebut tidak memiliki ayah dan ibu.

Ikatan Dokter Indonesia melalui Muktamar yang ke XXIII tahun 1997 di Padang, menyatakan sebagai berikut :
  1. Menolak dilakukannya klonasi pada manusia, karena upaya itu mencerminkan penurunan derajat serta mantabat manusia sampai setingkat dengan bakteri, menghasilkan manusia yang tidak memiliki ayah dan ibu alami maupun genetik, yang lebih lanjut akan merusak sistem/pranata hukum dan sosial manusia. Dalam kaitan dengan penolakan tersebut, menghimbau para ilmuwan khususnya dokter, agar tidak mempromosikan klonasi dalam kaitan dengan reproduksi manusia.
  2. Mendorong ilmuwan untuk tetap memanfaatkan bio-teknologi klonasi;
    1. pada sel / jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan melalui al. pembuatan zat anti atau antigen monoklonal, yang dapat digunakan dalam banyak bidang kedokteran baik aspek diagnosis maupun aspek pengobatan.
    2. pada sel atau jaringan hewan dalam upaya penelitian kemungkinan melakukan klonasi organ, serta penelitian lebih lanjut kemungkinan diaplikasikannya klonasi organ manusia untuk dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar